AKSI yang selama ini mendukung perjuangan Ari Bias, tentunya memiliki pandangan yang sama seperti halnya sang pencipta lagu “Bilang Saja” itu. Salah satu musisi yang juga pengurus AKSI, Badai, menyikapi santai terkait kunjungan Agnez Mo ke kantor Kemenkum.
“Kalau saya sih, itu hak orang untuk ngobrol dengan siapapun, termasuk dengan menteri. Itu hak pribadi untuk meminta penjelasan, memberikan usul, enggak apa-apa buat saya biasa saja. Cuma yang menjadi masalah sekarang adalah pemahaman, yang masih minim,” ungkap Badai, yang merupakan Sekjen AKSI.
Badai melanjutkan, “Pemahaman apa? Di dalam undang-undang hak cipta itu kan sudah jelas, ya. Bahwa eksklusivitas pencipta itu ada di Pasal 9 Undang Undang Hak Cipta, yang menjelaskan, setiap orang yang memanfaatkannya secara komersial itu memang wajib izin,” Badai menjelaskan. “Tapi yang sebelah sana selalu memakai Pasal 23 Ayat 5, yang mengatakan setiap orang boleh membawakan lagu siapapun tanpa izin, asalkan bayar kepada LMK.”
Badai juga menegaskan, pihaknya dan AKSI masih mempertanyakan, apakah mereka yang menyatakan telah membayar kepada LMKN benar-benar sudah melaksanakan kewajiban sesuai ketentuan yang berlaku.
“Bagi kami sih simpel saja. Kalau jaminannya bayar, kami tinggal tanya balik, bayarnya ada enggak? Simpel sebenarnya, enggak usah dibawa ribet. Kalau bayarnya enggak ada, apalagi izinnya? Jadi secara logis, ini bukan hanya masalah pada Agnez saja,” ujar Badai, pencipta lagu yang telah melahirkan banyak hits.
Menurut Badai, saat ini posisi mereka kepada siapapun yang mempertahankan pasal tersebut, mereka tinggal tanya, ‘Mana kewajiban bayarnya? “Dan sekarang berbanding lurus enggak dengan pendapatan pencipta? Sudah, begitu saja,” terang Badai.
Selain itu, Badai juga meluruskan bahwa tak ada agenda apapun di balik kegigihan AKSI dalam memperjuangkan hak para pencipta lagu. “Kami ini kan pemilik industri musik, lho. Industri musik ini bukan penyanyi saja yang punya, tapi salah satunya juga pencipta lagunya. Jadi, kami ingin supaya hak kami pun harus diperjuangkan,” ungkap Badai.
“Lewat apa? Ya, sudah lewat saja direct licensing, bayar saja langsung, lewat aplikasi. Ini bukan karena ada agenda DDL (digital direct licensing), ya. Tidak ada itu pun, ini akan terjadi. Ini sudah pasti terjadi, karena kegelisahan ini sudah cukup lama. Sistem begini sudah cukup lama. Nah, kebetulan saja ada aplikasi direct licensing dari pencipta-pencipta lagu yang ingin perubahan. Kebetulan saja momennya tepat. Tapi enggak ada ini pun, pasti akan terjadi gejolaknya. Kalau saya melihatnya seperti itu,” sambung Badai.
Di sisi lain, Mohamad Kadri, pengacara sekaligus penyanyi yang aktif dalam sejumlah organisasi musik, memiliki pandangan yang berbeda. Ia menyebut putusan Pengadilan Niaga terhadap Agnez Mo seolah-olah ke depannya bakal membebankan semua tanggung jawab kepada penyanyi.
“Ya, ini memang kalau saya pakai bahasa yang simpel itu adalah putusan itu jadi mempersalahkan penyanyi. Dalam konteks kasusnya Agnez ya, karena penyanyi menyanyi dan kemudian penyelenggara tidak bayar, maka yang salah penyanyi,” ujar Kadri.
“Jadi kalau ada pasalnya yang kita bahas, yang dipermasalahkan itu ada pasal 23 ayat 5. Dan juga, melihatnya enggak cuma itu pasal saja sebenarnya, jadi keseluruhan konsep dari undang-undang hak cipta dan juga turunannya di PP, Permen (Peraturan Menteri), bahkan tarifnya, itu diinterpretasikan bertahun-tahun ya sejak undang-undang hak cipta itu yang terakhir, diterbitkan tahun 2014. Itu yang bayar adalah penyelenggara,” ujar Kadri, yang punya julukan The Singing Lawyer.
Menurut Kadri, selama ini problemnya, karena penyelenggara khususnya konser tidak punya mindset bayar. “Akibatnya, uang terkumpul sedikit oleh LMKN dan dibaginya sedikit, sehingga banyak tuh beberapa pencipta yang sudah pernah ngomong dia cuma dapet 150 ribu, 130 ribu, karena memang uang yang terkumpul sedikit,” terangnya.
Kadri, yang baru merilis lagu Minang “Bareh Solok”, juga menilai diputuskannya Agnez Mo sebagai pihak yang bersalah akan jadi suatu preseden. Sehingga, nantinya LMK tak lagi menerima pendapatan besar dari penyelenggara acara, pihak kafe, tempat karaoke, stasiun televisi, hotel, para pengusaha, dan promotor konser.
“Sekarang presedennya adalah ngapain itu kafe-kafe mesti disuruh bayar kalau keputusannya ternyata penyanyi yang mesti bayar. Kalau itu dipakai menjadi suatu preseden dan kemudian diaplikasikan, mengubah dari kebiasaan yang sebenarnya, maka tanggung jawab tersebut menjadi tanggung jawabnya si penyanyi. Otomatis si penyanyi akan sharing sama si penampil lain, misalnya homeband, ‘Yuk bayar royalti,'” ujarnya.
Kondisi ini menurut Kadri akan membuat ekosistem secara substansial berubah. “Sehingga nantinya penyanyi itu punya beban, dia menjadi pengusaha. Dia harus bayar royalti, padahal dia cuma nyanyi. Dia diundang. Agnez itu kan diundang. Kecuali kalau Agnez yang bikin acara di situ, sewa tempat, undang bintang tamu, itu beda,” jelasnya.